Minggu, 21 Juni 2009

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Bagaimana agamawan bersikap? by: Cindy - 01120080052

Selasa, 04 Mei 2009 18:04
Peluncuran Buku Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan

Bukan Hanya Mendengar, Tapi Juga Menghadapinya
Jakarta-wahidinstitute.org. Korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) selama ini diabaikan oleh kalangan agamawan. Alih-alih didengarkan, mereka justru dinasihati oleh agamawan agar menerima takdir; bersabar dan jika tidak sanggup banyaklah berdoa. Apalagi dibela. Keprihatinan ini menggerakkan Komnas Perempuan melibatkan agamawan dalam kaitan pembelaan dan pemberdayaan terhadap perempuan.

Hasilnya, lahir buku “Memecah Kebisuan; Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan” yang diluncurkan pada Rabu siang (22/04/09) di bilangan Tebet. Buku yang dibuat dalam 4 versi (versi NU, Muhammadiyah, Katolik, dan Protestan) ini mengetengahkan kesaksian para korban dan memberikan pembacaan teks atas kitab suci yang memihak perempuan. Hadir sebagai penanggap buku ini adalah Ibu Shinta Nuriyah (NU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Romo Yosef Dedy Pradipto (Katolik), dan Pendeta Andreas A. Yewangoe (Protestan).

“Kami tidak hanya mendengarkan kebisuan tetapi juga menghadapinya,” demikian pernyataan Shinta menanggapi buku ini. Shinta menghadapi kebisuan untuk melalui pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan lewat Puan Amal Hayati. Organisasi yang didirikan pada 3 Juli 2000 ini oleh Shinta dan kawan-kawannya ini melakukan pendampingan perempuan korban berbasiskan pesantren. Mereka agamawan yang bukan hanya mendengar testimoni korban tetapi juga terjun langsung membelanya.

Penderitaan korban bermacam-macam. “Ada anak yang diperkosa paman dan adiknya selepas peringatan tujuh hari wafat ibunya,” terang Shinta. Si anak akhirnya masuk RSJ. Puan Amal Hayati mendampinginya selama di RSJ. Cerita lainnya tidak kalah tragis. Di Tasikmalaya, kata Shinta, seorang gadis menjadi korban incest ayah kandungnya selama 5 tahun sampai memiliki anak. Ibu kandung tidak tahu kebejatan suaminya itu.

Cerita ketiadaan pembelaan terhadap korban ini, menurut Shinta, punya sebab tersendiri. “Para pemegang otoritas (keagamaan) ini tidak bisa membedakan tradisi dan ajaran Islam,” ungkap Shinta. Tradisi, menurut Shinta, dianggap ajaran agama karena datang dari Arab dan bertuliskan huruf Arab. Visi agama akhirnya menjadi terdistorsi. Upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya kritis agamawan lewat institusi masing-masing. “Ajaran yang murni bisa dipertahankan dan tradisi tertentu bisa diubah oleh mereka,” tambah Shinta.

Agamawan (yang juga pengelola institusi agama) juga perlu keluar dari belenggu teks (yang sifatnya patriakhis), namun bukan berarti meninggalkannya. Agamawan, kata Shinta, tetap kembali kepada teks namun tidak secara tekstual. Dalam aras ini, teks dipahami bukan dengan harga mati. Teks justru dipahami sebagai mata air yang terus hidup dan dinamik. Dengan pembacaan teks seperti ini, agamawan dapat memberikan solusi yang konkret, praktis, dan aktual bagi persoalan masyarakat, termasuk persoalan yang menimpa perempuan. Setelahnya, pengelola institusi agama ini dan para aktivis perempuan dapat terlibat dalam dialog yang jujur, intens, dan terbuka.

Dialog dua belah pihak ini dapat berujung pada pemberdayaan elit dan tokoh agama untuk menjadi problem solver. “(Misalnya) mereka menginterpretasi ulang teks (agar menjadi ramah perempuan) dan disosialisasikan,” tutup Shinta. (Nurun Nisa)

5 komentar:

  1. dalam islam ada aturan dimana seorang suami berhak melakukan tindakan yang keras apabila istrinya melakukan "kesalahan".. kesalahan itu juga kalo apabila uda dikasih tau secara baik tapi kesalahan itu diulangi, maka suami berhak melakukan kekerasan.. bagaimana menurut kalian?

    BalasHapus
  2. waduh tapi tetap saja, nama nya juga kekerasan. tetap tidak boleh. tapi y memang susah c ya. saya baru tahu dalam islam ada aturan seperti itu. wah..hehehe. bagaimana menurut yang laen?

    BalasHapus
  3. jimmy-01120080133
    kalau menurut saya,tentang artikel ini,agamawan ga bsa juga di suruh melakukan pembelaan sama pihak yg kena kdrt,alna sebenarnya kalu menurut saya,tugasnya membawa orang ke jaln hidup yang benar,selain itu juga,kan tugasnya memberikan nasihat,atau dukungan rohani..karena menurut saya untuk pembelaan y laporkan ke kantor polisi,soalnya kan kita negara yang berhukum,jika ingin mendapat pembelaan,ya laporkan saja ke polisi,dan datang ke agamawan,untuk tujuan lain,yaitu untuk di beri ketabahan dalam hati,di nasihati...itu pendapat saya.

    BalasHapus
  4. jimmy-01120080133

    saya ingin memberikan komentar untuk agung...memang bingung,soalnya memang hukum agama,hal yang penting,setara dengan hukum,tetapi kalu saya lihat seh,rata-rata kekerasan dalam rumah tangga,kalu kita lihat,juga banyak kan bukan salah istri sepenuhnya,tapi memang ada hal yang lain,salah satu contohnya ya minum miras sampai mabuk itu.dan kalu menurut saya,kalau memang istri membuat salah,kalu memang sudah di kasih tahu dengan baik-baik oleh suami,menurut saya,orang juga bakalan sadar,apalagi sudah di kasih tahu baik-baik.dan kalu saya lihat y dr pengalaman saya.orang kalu memang salah,kalu di kasih tahu baik-baik,pasti orang bakal sadar,kalu memang di ulangi kesalahannya,kalau di agama islam di bilang boleh melakukan kekerasan ,menurut saya kekerasan yang boleh saya di lakukan juga saya yakin bukan menyiksa sampai yang sering kita lihat,karena di agama juga kan di tulis,sesama manusia harus saling menyayangi dan mengasihi..

    BalasHapus